Tema: demokrasi di lingkungan keluarga
Kegilaan Harta Warisan
Pada suatu hari, ada seorang bangsawan yang kaya raya bernama
Raden Sri Sultan Subagio Diningrat, beliau memiliki banyak sekali harta
kekayaan dan aset-aset kekayaannya tersebar di berbagai daerah. Namun
akhir-akhir ini beliau mengalami sakit keras, sehingga ingin melakukan
pembagian harta warisannya kepada 3 anaknya secara adil, yaitu Raden
Kiyansantang, Raden Mohaledjo, dan Raden Jokowadi. Saat itu di kamar, Romo
Subagio menyampaikan keinginannya kepada istrinya.
Romo : “Bu, bukannya
semakin hari kita semakin tua saja? Dan juga kesehatan kita makin menurun
juga. Saya takut nantinya akan terjadi
hal-hal yang tidak kita inginkan.”(sambil tidur dan batuk)
Kanjeng Ibu : “Iya Romo, saya mengerti apa maksud Romo.”(sambil
memberi obat)
Romo : “Sebenarnya
saya ingin melakukan pembagian harta warisan kepada anak-anak kita agar mereka yang melanjutkan usaha dan bisnis yang
sedang kita jalankan.”
Kanjeng Ibu : “Baiklah, kalau itu yang Romo inginkan, saya
akan coba bicarakan dengan anak-anak.”
Sore
harinya, keluarga inti Romo Subagio berkumpul di teras rumah untuk membicarakan
masalah permbagian harta warisan.
Jokowadi : “Bu, di mana Romo?”
Kanjeng Ibu : “Romo lagi istirahat di kamar, jangan diganggu
dulu.”
Mohaledjo : “Lalu, ada perlu apa kita dikumpulkan?”
Kanjeng Ibu : “Ibu mengumpulkan kalian disini karena Romo
telah memutuskan untuk mewariskan semua hartanya kepada kalian.”
Jokowadi : “Maaf bu, mungkin sebaiknya kalau semua harta
milik Romo dibagi rata dengan adil agar tidak terjadi keributan.”
Kiyansantang : “Hhmm.. baiklah kalau itu baiknya, saya
setuju.”
Mohaledjo : “Kalau begitu besok saya bisa panggilkan seorang
notaris, kebetulan saya kenal dekat dengan dia. Mungkin dia bisa membantu kita
untuk mengurus permasalahan ini.”
Kanjeng Ibu : “Baiklah, Bagaimana kalau besok kita bicarakan
masalah ini lagi.”
Kiyansantang : “Baik bu, kami pamit dulu, kebetulan Istri
saya mau kedokter untuk memeriksa kandungannya.”
Kanjeng Ibu : “Istrimu sudah berapa lama mengandung?”
Kiyansantang : “Baru 2 bulan bu.”
Kanjeng Ibu : “Oh ya sudah, kalian pulang hati-hati ya.” (semua
anaknya berpamitan kepada Kanjeng Ibu)
Setelah rapat singkat sore hari itu selesai dan telah membuat
keputusan yang adil, maka besoknya akan dibicarakan kembali. Keesokan paginya
Jokowadi menghubungi kakaknya Kiyangsantang agar datang secepatnya ke rumah
Romo. Akan tetapi malah istrinya Kiyansantang yang mengangkat telepon dari
Jokowadi, yaitu Roro Sakadiadjeng Putri.
Sehingga Roro mengetahui rencana pembagian harta warisan tersebut.
Jokowadi : “Selamat pagi mas Iyan, mas Iyan cepat datang ya
ke rumah Romo. Keluarga sudah menunggu di rumah Romo untuk
membicarakan masalah kemarin tentang pembagian harta warisan dari Romo dan notarisnya juga sudah hadir di
sini.” (langsung mematikan telepon)
Roro : “Apa? Kenapa mas Iyan tidak memberitahuku tentang
pembagian warisan? Aku harus mempengaruhi
mas Iyan agar mendapatkan harta yang lebih banyak.”
Kemudian Raden Kiyansantang masuk ke kamarnya dan tak berapa
lama lagi, Jokowadi menghubungi Kiyansantang kembali. Dan Kiyangsantangpun
bersiap-siap untuk menuju ke rumah Romo.
Roro : “Lho mas, mau kemana?”
Kiyansantang : “Ini mas mau ke rumah Romo, soalnya Romo mau
mewariskan hartanya kepada anak- anaknya secara merata.
Roro : “Oh tidak bisa begitu mas. Mas Iyankan anak pertama
dan satu-satunya yang sudah berkeluarga, bukankah
seharusnya mendapatkan warisan yang lebih banyak.”
Kiyansantang : “Ada benarnya juga sih apa yang kamu katakan,
lagipula sebentar lagi kita akan memiliki seorang anak. Nanti saya akan
bicarakan dengan keluarga.”
Roro : “Nah gitu dong mas. Kalau begitu saya akan ikut.”
Roropun berhasil mempengaruhi Kiyansantang yang akhirnya
berubah pikiran. Sebelum masuk kerumah Romo, Roropun menarik lengan
Kiyansantang.
Roro
: “ Mas, ingat tentang pembicaraan kita dirumah tadi! “
Kiyansantang
: “ Kamu tenang saja, saya akan berusaha untuk mendapatkan harta warisan yang
lebih banyak “
Kemudian
sesampainya di rumah Romo, Kanjeng Ibu terkejut, mengapa Kiyansatang membawa
istrinya yang sebenarnya tidak diundang.
Kiyansantang : “Maaf saya terlambat, karena tadi saya ada
urusan penting di kantor.”
Kanjeng Ibu : “Ada maksud apa kamu membawa istrimu ini?”
Roro : “Maaf bu, ini memang keinginan saya untuk datang
kemari. Jadi Ibu jangan asal menyalahkan suami
saya.”(dengan nada tinggi)
Kiyansantang : “Benar bu, tadi Roro memaksa saya untuk
mengajaknya kesini.” (semuanya duduk)
Kanjeng Ibu : “Ya sudahlah terserah kamu, yang penting Ibu
tidak mau ada keributan di sini.”
Roro : “Bu, bagaimana keadaan Romo? Apakah semakin baik atau
semakin buruk?”
Kanjeng Ibu : “Ya semakin baiklah! Kamu mau mendoakan Romo
keadaannya semakin memburuk?”
Roro : “Ya sayakan hanya bertanya saja.”
Kemudian di ruang tamu Kiyansantang dan saudara-saudaranya beserta Ibu,
notaris, dan Roro memulai rapat tentang pembagian harta warisan tersebut.
Notaris: “Saya mewakilkan Romo disini akan menyampaikan
bahwa Romo telah mewariskan hartanya secara
merata dan telah ditetapkan di dalam surat kuasa ini.” (sambil menunjukkan 3
map)
Roro : (Mengambil map secara kasar dan merebut map milik
Jokowadi) “Oh jadi ini beneran dibagi rata, suami
sayakan anak pertama, sudah seharusnya mendapatkan harta yang paling banyak.
Dan kami akan memiliki
keturunan.”
Notaris: (notaris kemudian menghentakan tangannya diatas
meja) “Maaf sebelumnya saya lancang mengatakan
hal ini anda tidak bisa mengambil keputusan sendiri, karena warisan itu sudah dibagi rata dan itu telah menjadi
keputusan bulat dari Romo.”
Roro : “Sayakan istri dari anak pertama keluarga ini jadi
saya berhaklah mengambil hak saya.”
Bi Itah pembantu keluarga ini
mendengar pembicaraan di ruang tamu. Akhirnya Bi Itahpun datang sambil
membawakan minuman dan menaruhnya di atas meja sambil berkata kepada semua yang
ada di ruang tamu.
Bi Itah : “Bapak-bapak Ibu-ibu, apa yang dikatakan nona Roro
itu benar, seharusnya den Iyan pantas mendapatkan
harta yang lebih banyak.” (dengan mimik wajah yang licik)
Muhaledjo : “Bi Itah! Kamu jangan ikut campur urusan
keluarga kami, kamu hanya pembantu dirumah ini, jadi saya minta sebaiknya kamu ke
kembali kebelakang”
Bi Itah : “ Maaf ya den , saya mendukung nona Roro untuk
mendapatkan haknya karena saya ingin mendapatkan
hak saya juga.”
Muhaledjo : “Apa maksudmu?!”
Bi Itah : “Sekali lagi maaf den saya sebagai pembantu rumah
tangga yang telah lama berkerja dirumah ini,
selama ini hanya diberi hak yang pas-pasan. Padahal keluarga ini begitu kaya.”
Notaris: “Maaf Bi, maksud anda, anda minta kenaikkan gaji?”
Bi Itah : “Ya seperti itulah.”
Notaris: “Kalau anda ingin kenaikkan gaji, sebaiknya anda
bisa bicarakan dengan Kanjeng Ibu nanti. Di suasana
seperti ini, tidak tepat untuk membicarakan hal seperti itu. “
Kanjeng Ibu : “ Benar bi, sebaiknya bibi segera kembali ke
dapur. Nanti saya akan memikirkan kembali tentang permintaan bibi. “
Muhaledjo : “ Bibi sudah dengar apa yang dikatakan kanjeng
ibu?! Sekarang silahkan bibi kembali ke dapur! “
Bibi Itah : “ Baiklah, saya minta maaf atas perkataan saya
tadi. Kalau begitu saya permisi. “
Notaris : “Baiklah kalau begitu, mari kita lanjutkan
pembicaraan kita tadi tentang pembagian harta warisan.
“
Kiyansantang : “ Saya kurang setuju tentang pembagian harta
warisan itu secara merata! “
Kanjeng Ibu : “ Nak, ibu Ainun Lestari kan sudah bilang bahwa itu sudah bulat
menjadi keputusan Romo.”
Kiyansantang : “ Ibu diam saja! Ibu tidak banyak bicara!
Lagi pula ibu sudah tua dan sebentar lagi ibu akan mati !”
Kanjeng Ibu yang mendengar
perkataan Kiyansantang yang sangat kasar, tanpa berpikir panjang langsung
berdiri dan menampar pipi Kiyansantang. Roro yang melihat suaminya ditampar
hanya berdiam diri. Karena keributan di dalam rapat tersebut Romo keluar
dari kamar dan beliau menuju Ruang tamu.
Romo : “ Ada apa ini?! Mengapa kedengarannya ribut sekali?” (katanya
sambil terbatuk - batuk)
Kiyansantang yang melihat Romonya
keluar langsung menuju Romo dan bersujud dihadapannya. Roro yang masih berdiam
diri langsung ikut bersujud dihadapan Romonya, dan mereka berdua meminta maaf
atas perilaku mereka.
Kiyansantang : “ Romo maafkan kami berdua, karena atas kesalahan dan
keserakahan kami terjadi pertengkaran di keluarga ini kami
berdua benar-benar memohon ampun kepada kanjeng ibu dan romo”
Roro : “iya bu saya benar-benar menyesal maafkan saya telah
menjadi menantu yang tidak kanjeng ibu inginkan”
Akhirnya romo dan kanjeng ibu
berdiri mengangkat kiyansantang dan Roro sambil berkata kami sudah memaafkan
kalian berdua
Jokowadi :” akhirnya keluarga kita menjadi utuh satu lagi
tidak ada lagi keserakahan dan keegoisan dalam keluarga ini lagi”
Notaris: “ jadi telah kita putuskan bersama hasil
kesepakatan terakhir bahwa harta warisan Romo dibagi seadil mungkin kekalian bertiga”
Romo : “ romo berharap kalian bertiga bisa menjalankan amanat
yang romo berikan kepada kalian”
Bi itah : “ maaf tuan jadi saya tidak mendapatkan kenaikan
gaji dan percikan warisan dari tuan”(sambil dengan
nada sedih dan memelas)
Jokowadi :” sudah-sudah bibik pasti akan mendapatkannya”
Bi itah :” yee Alhamdulillah, terimakasih tuan” (sambil
menyalimi semua keluarga yang ada disana karena
perasaan yang sangat gembira)
Akhirnya Muhalejopun meminta Bi itah untuk memotokan
semua keluarga tanpa terkecuali notaris yaitu Ainun Lestary
Notaris: “ohh kalau begitu saya akan pamit pulang”
Jokowadi: “ohh tunggu-tunggu lebih baik anda ikut foto
bersama kami”
Romo: “iya benar itu sapa tau ibu notaris bisa menjadi
anggota keluarga kami”
Bi itah: “yaudah jadi tidak ini saya potretin”
Muhalejo:”mari –mari-mari kita atur posisinya”
Bi itah : “bersiap 1,2,3 cekreet”
Akhirnya keluarga Raden Sri Sultan
Subagio Diningrat hidup bahagia dan sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar